Pages

Kamis, 27 Juni 2013

Jika Waktunya Tiba, Tak Ada yang Bisa Menghentikannya


Ditulis tanggal 1 Agustus 2012
Tulisan ini, seluruh paragraf dalam tulisan ini saya tunjukkan untuk seorang pahlawan olahraga yang telah seringkali mengangkat nama bangsa ini pada puncak tertinggi sebuah prestasi. Seorang yang dicintai masyarakat Indonesia, Tunggal Putra Indonesia Taufik Hidayat.
Banyak orang yang bilang kalau cinta pertama itu adalah yang terindah dari cinta-cinta setelahnya. Sesuatu yang pertama memang selalu terasa istimewa. Anak pertama, peringkat pertama, juara pertama, masuk pertama, gaji pertama, dan pertama-pertama yang lain. “Secantik apapun bunga-bunga yang lain, bunga pertama selalu menjadi yang tercantik.” Begitu kata pak Kapolres Trenggalek saat mengisi acara istighozah di sekolah saya sebulan yang lalu. Dan itu memang benar. Cinta pertama saya, seseorang yang pertama kali menjadi idola saya tak lain dan tak bukan adalah pemain bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat.
Saya pertama kali melihat Taufik Hidayat bermain saat Indonesia Open 2006, saat saya masih kelas 6 SD. Saat itu Taufik berhasil menjuarai Indonesia Open untuk yang ke 6 kalinya setelah berhasil mengalahkan Bau Chun Lai asal China dengan rubber game. Penampilan Taufik memberikan kesan tersendiri bagi saya, saya sangat mengagumi permainannya yang mengandalkan teknik dan penempatan shuttle cock yang bagus, saya mengagumi perjuangannya dan semangatnya melakoni partai yang berat melawan tunggal China yang terkenal tangguh. Sejak saat itu, dalam hati saya tertulis nama Taufik Hidayat sebagai tokoh yang saya idolakan.
Semakin hari kekaguman saya pada Tunggal Putra terbaik Indonesia ini semakin besar. Saat Asian Games 2006 Doha Qatar, saya tak henti-hentinya berdo’a untuk kemenangan Taufik Hidayat. Saat itu, di TV saya tidak ada stasiun yang menyiarkan AG jadi update tentang Taufik hanya bisa saya dapatkan dari berita olahraga. Saya tidak akan berangkat sekolah sebelum mengetahui kabar tentang Taufik Hidayat. Saya sempat kecewa ketika Taufik 2 kali gagal mengalahkan Lin Dan saat pertandingan beregu, namun harapan untuk dapat meraih medali emas saat partai perseorangan tak pernah hilang. Setiap hari, pagi siang malam saya berdo’a agar Taufik Hidayat diberikan kemenangan dalam setiap pertandingan yang dilakoninya, karena sekali saja gagal harapan itu putus sudah. Saking semangatnya berdo’a saya sampai beberapa kali menangis. Semuanya untuk Taufik Hidayat, idola pertama saya.
Saat mengetahui kemenangan Taufik Hidayat di partai Final atas Lin Dan hati saya bersorak gembira. Saya sangat bahagia sekali waktu itu. Saya berjingkrak-jingkrak di depan TV. Hati saya bergemuruh dan saya sangat bersyukur kepada Allah SWT do’a saya dan mungkin seluruh rakyat Indonesia akhirnya dikabulkan. Taufik menang dengan straight game 21-19 22-20. Sebuah angka yang tak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun.
Masih terlihat jelas di ingatan saya bagaimana ekspresi Taufik saat berhasil meraih medali emas saat itu. Ia membalikkan badannya ke  arah penonton sambil mengepal erat tangannya setelah berhasil mematikan pengembalian yang tanggung dari Lin Dan di depan net. Lalu kepalan tangan itu ia tunjukkan ke kamera dengan wajah yang sangat puas. Sebuah kepalan tangan keberhasilan dan prestasi yang ia persembahkan untuk bangsa Indonesia tercinta.
Waktu terus berjalan tanpa mampu kita menghentikannya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun Taufik selalu memberikan kemampuan terbaiknya untuk Merah Putih. Sampai akhirnya saat yang paling tidak kita harapkan ini tiba. Taufik Hidayat memutuskan untuk berhenti setelah kurang lebih 17 tahun berjuang membela nama Negara. Sebuah keputusan yang mau tak mau harus kita terima dan kita hargai. Usia yang sudah beranjak 32 tahun bukanlah usia yang muda untuk terus bermain bulutangkis. Saatnya generasi muda meneruskan perjuangan Tunggal Putra tumpuan Merah Putih ini.
Harus kita akui bersama, Taufik telah mencatat rekor yang sangat luar biasa dalam karirnya sebagai seorang atlet bulutangkis professional. Emas Olimpiade Athena 2004, Juara Dunia 2005, Emas Asian Games 2002 dan 2006, serta masih banyak lagi prestasi fenomenal yang telah ditorehkannya untuk Merah Putih. Saya melihat rekaman partai Final Taufik di Olimpiade Athena 2004 silam dan menangis haru saat ia berhasil meraih medali emas olimpiade di usianya yang masih 24 tahun. Sungguh, ia telah berjuang yang terbaik dan mencatatkan rekor terbaik untuk bangsa ini. Jangan pernah menyangsikannya.
Jika akhir-akhir ini prestasinya menurun, itu karena tenaganya tidak sekuat dulu dan generasi-generasi muda yang masih segar dan kuat bermunculan dengan semangat dan motivasi yang lebih besar. Memang sudah saatnya kita mencari generasi muda yang dapat menggantikan Taufik Hidayat.
Di akhir tulisan ini, dengan sepenuh hati saya mengucapkan Terima Kasih yang sebesar-besarnya untuk Taufik Hidayat. Terima kasih telah mengenalkan saya pada olahraga, dimana kita dapat menyaksikan perjuangan para pahlawan olahraga untuk  bangsanya dengan langsung dan jelas. Terima kasih telah membuat saya mencintai olahraga Nasional, mencintai bulutangkis Nasional, setia mendukungnya dengan berbagai macam kekurangan-kekurangannya yang kompleks. Kalau jujur, rasanya saya sangat kurang sekali melihat Taufik bermain, saya ingin melihat permainannya lebih banyak lagi, banyak sekali partainya yang saya lewatkan. Tapi, sepertinya hal itu sudah tidak bisa lagi saya dapatkan. Yang bisa saya lakukan saat ini adalah mencari rekaman pertandingannya dulu.
Terima Kasih Taufik Hidayat………..
Atas prestasi dan kebanggan yang kau berikan pada Negeri ini…..
Bagiku….
Kau Idola pertama, yang tak kan pernah terlupa………..

Selesai....
Rista Fitria Anggraini

0 komentar:

Posting Komentar