Pages

Sabtu, 12 Januari 2013

Guru Sejati Itu Adalah Ibuku


(ditulis tanggal 6 Oktober 2012)
 
“Kenapa semua orang harus hidup begini? Nanti kalau sudah besar, aku ga mau hidup seperti ini.” Kata seorang anak tegas kala ia diajak ibunya untuk memunguti daun cengkeh yang berguguran di sekitar rumahnya. Sebuah kalimat yang secara tidak langsung menjadi suatu tekad kuat untuk merubah keadaan, keluar dari “kebiasaan” dan “pada umumnya”, serta menorehkan kisah yang baru.
Kalimat itu diucapkan oleh ibuku. Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Aku sempat terpana tidak percaya saat nenek menceritakannya padaku ketika aku membantu beliau memunguti daun cengkeh saat liburan kemarin. Bagaimana ibuku yang orang desa, hidup dalam kesederhanaan, dan jauh dari modernisasi keadaan memiliki tekad dan motivasi untuk dapat lebih dari keadaan beliau saat itu.
Ibuku bercita-cita menjadi seorang guru dari kecil. Sebuah cita-cita yang besar dan mulia. Di kampung nenekku, hampir semua orang bermata pencaharian sebagai petani, mengandalkan hidup dan nasib mereka pada petak sawah dan pohon cengkeh yang ditanam di setiap jengkal tanah yang mereka miliki. Kala harga cengkeh naik mereka meraup banyak keuntungan, namun saat cengkeh tidak laku di pasaran, mereka hanya bisa pasrah mendapat penghasilan seadanya. Suatu keadaan yang tidak menentu, dan ibuku tidak mau menjadi seperti itu.
Saat ibuku kecil, menjadi seorang guru adalah sebuah cita-cita yang luar biasa tingginya, mungkin setara dengan menjadi dokter saat ini. Saat itu, hanya ada satu keluarga yang anaknya berhasil menjadi guru. Keluarga itu menjadi keluarga yang terhormat dan terkenal di seluruh pelosok desa. Siapa sangka, ibuku adalah orang kedua yang menyandang profesi guru setelah keluarga terhormat itu.
Untuk mewujudkan cita-citanya, ibuku melanjutkan SLTP (SMP saat ini) di kota kecamatan. Sebuah keputusan yang dianggap tidak wajar dan aneh. Semua anak di desa ibuku mayoritas hanya lulusan Sekolah Dasar, setelah lulus SD mereka merantau ke luar kota untuk bekerja. Pekerjaan mereka di kota hampir semua sama, yang laki-laki menjadi pekerja laundry, yang perempuan menjadi pembantu rumah tangga. Bahkan sampai saat ini pun tradisi ini tetap berlanjut. Sangat jarang penduduk di sana yang sadar akan pentingnya pendidikan dan arti sekolah. Menurut mereka, sekolah hanya menghabiskan uang saja. Bekerja jauh lebih penting, karena dapat menghasilkan uang.
3 tahun di SLTP, ibuku menumpang pada sebuah keluarga Kristiani di kota Panggul. Anak desa itu hidup jauh dari orang tua untuk yang pertama kalinya. Teman-temanku saat ini juga hidup jauh dari orang tuanya, bedanya mereka bekerja dan aku belajar, pikir ibuku setiap saat. Ibuku adalah sosok yang kuat dan mandiri. Keluarga Kristiani itu bukanlah keluarga yang berada, sehingga ibuku harus ikut membantu keadaan ekonomi keluarga itu. Setiap pagi, ibuku harus bangun lebih awal, menimba air untuk mandi dan mengiles kedelai untuk dijadikan bahan baku tempe yang menjadi mata pencaharian keluarga itu. Ibuku kecil, namun kekuatannya luar biasa. Ibuku tidak mau berangkat sekolah sebelum tugas mengiles kedelainya selesai. Kala hari Minggu tiba, ibuku menggendong satu wadah penuh tempe dan membawanya ke pasar. Semuanya ibuku lakukan dengan ikhlas dan tanpa mengeluh.
Keluarga yang ditumpangi ibuku itu adalah keluarga yang tegas dan tidak mentolerir kesalahan sedikitpun. Sering ibuku kena marah karena tidak sengaja berbuat kesalahan. Suatu hari, ibuku bercerita bahwa suatu ketika beliau disuruh membelikan shampo oleh kepala keluarga itu. Malangnya, shampo yang dibelikan ibuku tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Hal itu terjadi sampai 3 kali, karena jengkel bapak itu menyiratkan shampo itu ke mata ibuku. Suatu perbuatan yang sangat tidak baik. Ibuku yang masih sekecil itu, hanya bisa berlari menuju kamar dan menangis. Saat-saat seperti itu, ibuku rindu sekali kepada orang tuanya dan ingin pulang. Namun, ibuku selalu menahan keinginannya untuk pulang dan tetap berusaha bertahan dengan keadaan ini.
Ibuku hanya pulang paling sering sebulan sekali, karena jarak antara kota Panggul dengan rumah nenekku sangat jauh, apalagi harus ditempuh dengan berjalan kaki. Kadang kalau ibuku tidak pulang, kakekku datang mengunjungi dengan membawa oleh-oleh dari desa seperti buah kelapa, pisang, atau beras. Kalau ibuku pulang ke rumah, pukul 02.00 dini hari ibuku harus sudah siap berangkat dari rumah karena jam 07.00 sudah harus sampai sekolah. Biasanya ibuku diantar kakekku sampai setengah perjalanan atau sampai gelap pergi. Kala langit sudah mulai memutih, ibuku meneruskan perjalanan sendiri menyusuri jalan setapak menuju sekolahnya. Sungguh sebuah pengorbanan yang tidak bisa dianggap remeh.
Setelah lulus SLTP, ibuku melanjutkan sekolah di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di ibukota Surabaya. Di sana ibuku menumpang pada pakdhe-nya. Meski numpang dengan keluarga sendiri, tidak serta merta membuat ibuku lebih santai. Saat di Surabaya, setiap hari ibuku membantu membuat bakso dan memasak sarapan, karena budhe-nya membuka warung nasi kecil-kecilan di depan rumah.
Sekolah di SPG ibu lakoni dengan baik. Meski anak desa, ibuku tidak pernah keluar dari 10 besar di kelasnya. Ibuku memang rajin sekali, sangat rajin, bahkan sampai sekarang. Kalau ada waktu senggang, ibuku selalu membuka buku dan mengulang pelajaran di sekolah. Sebelum tidur, ibuku selalu mengingat-ingat dan menghafalkan materi yang ia dapat siangnya.
Akhirnya, dengan semangat dan pengorbanan yang besar ibuku berhasil diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sebuah cita-cita yang akhirnya terwujud. Selama kurang lebih 16 tahun ibuku harus mengajar pada SD terpencil, namun hal itu tetap di jalani dengan ikhlas. Dan Alhamdulillah, tahun 2011 kemarin ibuku dipindah tugaskan di sekolah dekat rumah.
Sampai saat ini, ibuku sangat mencintai pekerjaannya. Hampir seluruh waktunya beliau gunakan untuk membuat program dan rencana pembelajaran untuk murid-muridnya. Setiap saat beliau selalu mencari ide baru, metode baru untuk memaksimalkan proses belajar mengajar di kelasnya. Beliau juga tidak segan-segan membantu teman sesama guru yang mengalami kesulitan dalam membuat program atau laporan pembelajaran yang memang setiap waktu harus dilaporkan. Karena dasarnya yang rajin dan ulet serta telaten, ibuku sering menjadi wakil Kecamatan Panggul dalam acara seminar atau workshop yang diadakan dinas pendidikan.
Ibuku adalah guru sejati. Jika orang lain terpaksa menjadi guru, ibuku justru menjadikan guru sebagai tujuan hidupnya. Keberhasilan siswa adalah segalanya bagi ibuku. Ibuku terihat sangat sedih kala melihat nilai muridnya jeblok, dan luar biasa senangnya kala menyadari satu demi satu muridnya lancar membaca dan menulis. Ibuku adalah pengabdi pendidikan sejati.
“Jadilah seperti ibumu. Belajarlah yang rajin, jika tidak hanya seperti kakekmu inilah hidupmu. Mau makan sesuap nasi saja harus bekerja dengan susah payah.” Ucap kakek padaku suatu hari.
Itulah kisah tentang ibuku. Ibu yang menginspirasiku dan membuatku ingin sepertinya. Sungguh, sampai saat ini, apa yang dapat kulakukan hingga detik ini sangat jauh dibandingkan apa yang telah dilakukan ibu saat seumuranku. Aku masih belum bisa menandinginya, masih kalah darinya. Satu hal yang ingin kulakukan saat ini adalah ingin seperti ibuku, menyamainya atau mungkin bisa lebih darinya. Aku ingin menggapai semua mimpiku dengan kekuatan yang aku miliki. Aku ingin berjuang demi mimpiku sama seperti ibuku berjuang demi mimpinya. Aku ingin menjadi wanita yang kuat, mandiri, mau bekerja keras, serta tidak mudah menyerah seperti yang telah dicontohkan ibuku. Semoga, aku tidak mengecewakannya dan bisa membuatnya bangga suatu hari nanti…
Selesai..
Rista Fitria Anggraini

Kepada Siapa Lagi Kita Berharap?

 (ditulis tanggal 15 December 2012)

 
Masyarakat sepakbola tanah air patut mengelus dada dan mengucap syukur. Pasalnya, FIFA tidak jadi memberi sanksi kepada Indonesia terkait kasus dualisme kepengurusan dan dualisme kompetisi yang selama dua tahun terakhir ini terus menghiasi persepakbolaan tanah air. Dalam rapat komite eksekutif FIFA yang digelar di Tokyo Jepang kemarin, FIFA urung memberi sanksi kepada Indonesia dengan alasan mereka melihat sinyal positif dari PSSI untuk menyelesaikan konflik dan memilih menyerahkan masalah ini kepada AFC.
Keputusan ini membuat sebagian masyarakat lega karena kekhawatiran melihat negara ini dikucilkan dari pentas sepakbola internasional tidak menjadi kenyataan sedangkan Tim Nasional dapat kembali fokus mempersiapkan diri menghadapi kualifikasi Piala Asia yang akan digelar Februari mendatang. Namun jika kita mau melihat dari sudut pandang lain, keputusan FIFA untuk tidak memberi sanksi dan kembali memberikan tenggang waktu pada PSSI seakan memberikan sinyal kepada kita semua bahwa episode dualisme ini akan tetap berlanjut.
Mengapa demikian? Sejujurnya, keputusan FIFA untuk tidak memberi sanksi kepada Indonesia dengan alasan ada tanda-tanda positif menuju kesatuan membuat saya bingung dan bertanya-tanya. Tanda-tanda positif? Tanda-tanda positif apa yang FIFA lihat? Jelas-jelas di depan mata PT. Liga Indonesia dengan segala kepercayaan dirinya baru saja mengumumkan bergulirnya Liga Super Indonesia musim depan, sedangkan di kubu IPL terdengar kabar bahwa mereka mendapatkan tawaran sponsor dengan nilai yang konon menyentuh angka 190 miliar rupiah dari salah satu perusahaan asal Amerika Serikat untuk menyokong kompetisi. Dua gambaran diatas saya rasa cukup jelas bagi kita semua bahwa dualisme di negeri kita tercinta ini sama sekali TIDAK ada tanda akan berakhir. Dengan dua hal diatas, bisa dipastikan kalau Indonesia tetap akan mempunyai dua kompetisi tertinggi musim depan.
Keputusan FIFA seakan-akan membuat dua kubu itu menepuk dada dan kembali meneruskan duelnya, bertarung untuk menjadi yang “terbaik” dan “terhebat” di tengah hausnya masyarakat Indonesia akan prestasi sepakbolanya. Sikap tidak tegas yang ditunjukkan FIFA hanya akan mengulur-ulur masalah dan membuat masalah berlarut-larut. Rasanya, sudah cukup banyak toleransi yang diberikan FIFA kepada Indonesia. Dua tahun. Dua tahun tontonan pertikaian ini mengisi panggung sepakbola nasional, membuat sepakbola Indonesia linglung tak tentu arah dan hampir sekarat. Kegagalan demi kegagalan menghinggapi Tim Nasional, peringkat FIFA terus menurun. Di tingkat klub, masalah klise seperti tunggakan gaji pemain yang sampai berbulan-bulan menjadi berita yang tidak asing di telinga kita, bahkan telah memakan korban. Sepakbola Indonesia sudah separah ini, mengapa FIFA masih menutup mata dan malah melempar tanggung jawab?
Banned FIFA mungkin akan menjadi sejarah buruk dalam sepakbola Indonesia, namun tidak disanksi dengan keadaan sekarang ini, sama saja dengan bohong. Banned mungkin cuma 1-2 tahun, setelah itu mungkin saja kita dapat memiliki organisasi sepakbola yang benar, itupun masih “mungkin”. Mungkin negeri ini akan malu dengan sanksi itu, tapi sikap pengurus saat ini yang merasa paling benar dan tidak mau mengalah bukankah lebih memalukan?
Akan selalu ada sanksi apabila seseorang atau sebuah anggota tidak mematuhi peraturan yang dibuat organisasi diatasnya. Bukankah itu hal yang wajar dan sejatinya harus dilaksanakan? Peraturan dibuat dengan diiringi hukuman atau sanksi sebagai konsekuensi jika peraturan tersebut suatu saat dianggar. Adanya sanksi juga memberikan bobot pada peraturan itu sendiri, sejauh mana peraturan itu ditegakkan. Dengan toleransi-toleransi yang terus saja diberikan FIFA kepada kita, pertanyaan besar muncul di benak kita bersama, seberapa besar tanggung jawab dan keseriusan FIFA dalam menangani masalah ini?
Pemerintah-pun yang sebenarnya memiliki wewenang dalam pembenahan kisruh ini, tidak bisa berbuat banyak. Berbagai macam komite yang dibentuk pemerintah untuk menjembatani perbedaan diantara mereka nyatanya tak membuat kedua kubu bereaksi. Yang terbaru adalah dibentuknya satgas pimpinan Rita Subowo oleh Menpora sementara Agung Laksono. Kita lihat saja apakah satgas ini mampu berbuat banyak atau bernasib sama seperti pendahulunya, hanya seperti cubitan kecil yang sama sekali tidak mempengaruhi kekuhuan sikap mereka. 
Saya kok jadi pesimis dan khawatir dengan kelanjutan olahraga yang paling digemari masyarakat ini. Kalau pemerintah-pun sudah tidak berdaya dan FIFA terkesan tutup mata dan lempar tanggung jawab, lalu siapa lagi yang akan membenahi sepakbola negeri ini? Kalau dua lembaga yang berpengaruh besar itu tidak bisa menghentikan berangasnya PSSI dan KPSI menggerogoti sendi persatuan dan kemurnian sepakbola, lalu kepada siapa lagi kita berharap?
Ahhh, betapa negeri ini sungguh rumit. Hanya masalah sepakbola saja yang notabene hanya permainan dan hiburan, semua orang dibuat marah. Sepakbola yang notabene bagian kecil dari banyaknya bidang di negeri ini dan hanya berfungsi sebagai permainan dan olahraga saja, dijadikan media berpolitik dan sarana mengeruk kekayaan dari para penguasa, bagaimana dengan bidang lain yang jauh lebih menjanjikan?
Semoga mukjizat Tuhan menghampiri persepakbolaan tanah air, entah dengan cara apapun hati mereka disadarkan. Bukan untuk mereka, tapi untuk pemain, pelatih, official, supporter dan seluruh insan sepakbola Indonesia yang pengorbanan dan ketulusan hati mereka mencintai olahraga ini terlalu KEJAM jika dibalas dengan sandiwara politik ini.
 Selesai….
Rista Fitria Anggraini

Ps : saya di e-mail pihak BOLA katanya tulisan ini berhasil di publish di edisi 20 Desember 2012. :D sayang smpe skrg blum bisa mastikan sendiri, karena edisi itu disini udah ga ada :((