Pages

Rabu, 29 Januari 2014

Ibu... Ibu... Ibu...

Tadi malam, saya baru saja mengalami sebuah hal yang sangat memilukan sampai saya harus menitikkan air mata. Beginilah kira-kira cerita yang membuat rasa pilu itu.

Sehabis maghrib, saya mendengar kabar dari bapak saya kalau guru saya mengaji waktu kecil Mbah Isah sedang sakit. Kata bapak saya, badan Mbah Isah yang dulu gemuk berisi dan kuat sekarang tinggal tulang dan kulit. Bapak saya juga mengatakan bahwa Mbah Isah tidak bisa berjalan lagi. Mendengar hal itu, rasa sedih langsung menyelimuti saya. Masih jelas dalam ingatan saya waktu kecil dahulu bagaimana Mbah Isah mengajarkan kami membaca Iqro' dari halaman pertama sampai saya bisa membaca Al-Qur'an.Mbah Isah adalah sosok yang sangat bersemangat dan tidak pernah lelah mengajarkan kami membaca Al-Qur'an dengan tartil. Beliau juga sosok yang tegas, tak jarang kita dimarahi karena berbicara sendiri saat disuruh berlatih membaca Al-Qur'an atau saat selesai Sholat Maghrib yang harusnya digunakan untuk berdzikir. Jika sudah marah, kami langsung terdiam dan mendengarkan karena takut. Meskipun cuma sampai kelas 4 SD saya belajar mengaji dengan beliau, namun sampai sekarang saya tidak pernah lupa akan jasa-jasa beliau dan merasa bersyukur karena telah diajar oleh beliau.


Sekitar 2 tahun yang lalu, saya masih mengantarkan zakat fitrah kepada beliau dan saat itu beliau masih sehat. Waktu itu beliau masih rutin sholat berjama'ah di masjid. Saat itu, ingatan beliau juga masih tajam. Dengan lancarnya beliau menceritakan tentang kakek saya  yang tidak sempat saya lihat wajahnya. Beliau bercerita kalau kakek saya dulu adalah orang yang sangat gemar mengaji dan sering wiridan di masjid sampai larut malam. Bukan sekali saja Mbah Isah menceritakan itu kepada saya, setiap bertemu saya dan tahu kalau saya cucu Mbah Abdul Manan, Mbah Isah selalu menceritakannya pada saya sampai saya hafal sendiri. Dan dua tahun lalu, masih ingat dalam benak saya kalau Mbah Isah menyuruh saya untuk memperbanyak Sholawat Nabi dan jangan lupa selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT selama saya di perantauan. 

Waktu tak terasa terus bergulir, dan seiring bertambahnya usia Mbah Isah pun sudah semakin tua. Setelah mendengar cerita bapak tadi, saya pun langsung mengajak bapak untuk menjenguk Mbah Isah saat itu juga. Telur 1 kg dan Gula 1 kg menjadi oleh-oleh kami untuk beliau. Namun, apa yang terjadi? Sesampainya di rumah Mbah Isah, saya melihat suatu kejadian yang mengagetkan. Malam itu, saya melihat mbah Isah dengan tubuhnya yang sangat kurus dan lemah terduduk sendirian di luar rumah tanpa ada yang menemani. Di depannya ada timba dan gayung serta selang air yang mengalir. Mengapa Mbah Isah yang sakit di luar rumah sendirian malam - malam begini??

Di rumah, sejak kepergian suaminya entah berapa puluh tahun yang lalu, mbah Isah tinggal dengan dua orang putrinya. Putri yang satu sudah berkeluarga dan tinggal di samping rumah beliau dan putrinya yang satu lagi belum menikah dan tinggal satu rumah dengan beliau. Ketika ayah saya bertanya mengapa duduk di luar malam-malam begini, beliau menjawab bahwa beliau baru saja selesai mandi. Tak lama kemudian, putrinya yang serumah dengannya keluar dari rumah kakaknya dan menyambut saya dan bapak. Ketika saya tanya mengapa kok Mbah Isah malam-malam begini baru mandi, putrinya itu malah mengomel menyalahkan Mbah Isah yang katanya tidak tahu waktu. Saya bingung juga dengan jawaban itu. Bukannya ia bisa menuntunnya? Kemudian, Mbah Isah mengeluarkan kotoran dari tempat duduknya itu. Dan yang membuat saya lebih tercengang, bukannya mengangkatnya ke dalam rumah dan membersihkan kotorannya putrinya itu malah menyuruh saya dan bapak meninggalkannya sendiri di luar rumah dan masuk ke ruang tamu. Saya tidak tahu apa yang dipikiran putrinya itu. Bagaimana mungkin ia meninggalkan ibunya yang kedinginan dan penuh kotoran di luar rumah sendirian? Bapak saya masuk ke dalam rumah, tapi saya menolak masuk dan tetap di luar menemani Mbah Isah. Seketika itu juga, rasa pilu dan kasihan menyelimuti diri saya. Beberapa kali beliau mengatakan ingin di bawa masuk ke dalam karena sudah lebih dari setengah jam duduk di luar. Saya mencoba masuk ke dalam rumah dan meminta putrinya untuk mengangkatnya tapi ia tetap bersikeras menolak dan malah tetap menyuruh meninggalkannya. Saya mencoba meminta kepada bapak saya untuk mengangkat tapi juga di larang sama putrinya, alasannya nanti tidak kuat karena Mbah isah berat. Rasa kasihan sekaligus bingung mendera diri saya karena saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membawa Mbah Isah masuk ke dalam rumah. Saya hanya bisa menemani beliau di luar rumah sambil membantu membersihkan kotorannya. 

Tak lama kemudian, bapak saya pamit pulang. Saat kami sudah berjalan pulang, saya mendengar putrinya itu membentak Mbah Isah dengan keras dan mengatakan kalau Mbah Isah sangat menyusahkannya. Tanpa sadar air mata saya turun. Saya tidak kuat menahan pilu melihat ini semua. Bagaimana bisa seorang ibu yang melahirkan dan membesarkannya dibentak-bentak seperti itu?? Bagaimana bisa seorang ibu yang sudah tua dan lemah ditinggalkan sendiri kedinginan di luar rumah??

Sesampainya di rumah, saya langsung memeluk ibu saya dan menangis sejadi-jadinya. Ibu saya bingung dan bertanya ada apa. Setelah saya bercerita, ibu saya langsung menyuruh bapak saya mencari tetangga laki-laki untuk membantu mengangkat Mbah Isah ke dalam rumah. Dan bapak ditemani seorang tetangga saya kembali ke rumah Mbah Isah untuk membantu mengangkat beliau ke dalam rumah. Saya tidak tahu kalau tidak ada saya dan bapak malam itu, sampai kapan Mbah Isah akan dibiarkan di luar sendirian.

Semakin bertambahnya usia, berkurangnya kekuatan, penglihatan, ataupun pendengaran itu hampir pasti terjadi pada semua orang. Orang yang menjadi lemah saat tua itu wajar, orang yang menjadi pikun saat tua itu wajar. Mana bisa kita menyalahkan ini semua?? Terlebih kepada ibu kita sendiri. Apapun alasannya, kita tidak berhak menyalahkan ibu kita yang semakin lemah karena dimakan usia. Sebelum kita menyalahkannya, pernahkah kita berpikir kalau saat kita kecil dahulu kita juga lemah dan tak berdaya seperti ibu kita saat ini? Kita juga lemah, sehingga apa-apa selalu butuh pertolongan ibu, namun pernahkah ibu mengomel dan menyalahkan kelemahan kita itu?? Mengapa saat ibu yang lemah kita tidak memperlakukan hal yang sama dengan apa yang ibu kita lakukan saat kita masih kecil dulu?

Ada sebuah hadits yang kurang lebih berbunyi seperti ini : " Rugilah seorang anak jika ia tidak masuk Surga padahal ia tinggal  bersama dengan orangtuanya." Menjaga orangtua bukan hanya kewajiban kita sebagai anak tapi perintah dari Allah SWT kepada hambaNya yang bertakwa. Tidak berbakti kepada orang tua adalah tindakan yang buruk dilihat dari segi apapun, entah sosial ataupun agama. Di akhir tulisan, saya pribadi berdo'a agar Mbah Isah diberi kesabaran dalam menghadapi segala cobaan dan ujian, dan semoga Allah meringankan ujian beliau. Selain itu, saya juga berdo'a supaya putri beliau dibukakan pintu hidayah dan segera menyesali perbuatannya dan menjaga Mbah Isah dengan selayaknya seorang anak menjaga ibunya. Saya berharap pembaca yang membaca artikel ini juga mendo'akan kesembuhan Mbah Isah dan pintu hidayah untuk putrinya.

Selesai..
Rista Fitria Anggraini

1 komentar:

Doyan Main mengatakan...

Winning303 Arena Sabung Ayam Terpopuler yang menghadirkan Ayam Ras Juara dan Ras-ras Terkuat..Pertarungan yang sangat seru bakal di hadirkan disini...

Winning303 juga menyediakan permainan lain
1. Sportbooks
2. Live Casino
3. Slot Online
4. Lottery/Togel
5. Poker Online
6. Tembak Ikan
7. RNG

Yang pastinya tidak kalah seru dengan permainan lainnya...
cukup 1 User ID untuk semua permainan..Gak Pake Ribet...

Ayo Langsung bergabung dengan kami...
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: 0877 8542 5244
TELEGRAM : Winning303

Posting Komentar