Beberapa saat yang lalu saya baru saja mengikuti lomba Pena Brawijaya kategori Cerpen yang diadakan oleh Kementrian Sosial Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya. Dan Alhamdulillah saat pengumuman yang bersamaan dengan acara talkshow Brawijaya Mengajar dan Indonesia Mengajar, cerpen yang cuma saya buat dalam semalam itu berhasil menjadi Juara I. Sangat tidak menyangkan sebenarnya, karena saya membuat cerpen ini hanya karena kagum dengan keindahan surga bawah laut kabupaten Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang saya saksikan lewat televisi beberapa saat yang lalu. Dengan keindahan laut yang luar biasa, ternyata penduduk asli Wakatobi masih jauh dari kata sejahtera. Melalui acara TV yang saya saksikan tersebut, masih banyak pemukiman-pemukiman kumuh di pinggir pantai Wakatobi yang biru mempesona. Karena itulah saya ingin menjadikannya sebuah tulisan dan saat mengetahui ada lomba cerpen ini, saya langsung ingin mengangkat Wakatobi sebagai isi cerpen saya. Terima kasih kepada seluruh panitia Pena Brawijaya yang telah meilih cerpen saya menjadi yang terbaikpada lomba ini. Saya sangat senang dan bersyukur. Ini adalah gelar pertama di musim ini. hahaha..
Pada artikel ini, saya ingin membagi isi cerpen tersebut saya kepada pembaca blog ini. Semoga bermanfaat dan selamat membaca... ^__^
Sekolahku
Tak Seperti Surga Bawah Lautku
Namaku
Yusuf dan aku tinggal di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Wakatobi. Tempatku
dijuluki daerah surga
nyata di bawah laut di jantung segi tiga karang dunia. Pantai adalah identitas daerahku, lautan biru
adalah kebanggaan logoku. 10 tahun yang lalu, di saat warga kampungku
berbondong-bondong menangkap ikan di laut karena musim panen ikan datang, aku
lahir ke dunia. Hampir 95% warga di Wakatobi adalah
pelaut. Mendayung perahu, adalah hal wajib yang harus kami kuasai. Ibuku, sejak
berumur 8 tahun sudah lihai mendayung perahu, melintasi jengkal demi jengkal
birunya lautan, membantu kakekku mengumpulkan rumput laut untuk dijual. Sampai
saat ini hidup keluargaku dan hampir seluruh warga Wakatobi bergantung pada
laut. Kami sangat mencintai alam kami karena kami tidak bisa hidup tanpanya.
Saat
ini aku duduk di kelas 4 SD di Kaledupa, Wakatobi. Gedung sekolahku terletak
tak jauh dari pantai Sumbano di Kaledupa. Jangan bayangkan, gedung sekolahku
adalah benar-benar “gedung” yang megah kawan, yang kumaksud “gedung” di sini
hanya sebuah bangunan sederhana bertembok kayu yang posisinya sudah agak
mendoyong. Setiap duduk di bangku kelas, lembutnya pasir pantai mengelus kakiku
yang tak bersepatu. Pasir pantai adalah ubin sekolah kami. Kalau musim kemarau
panjang, aku selalu disuguhi adegan pasir berterbangan di depan kelasku. Deburan
ombak pantai yang syahdu, menemani setiap detik waktuku belajar di sekolah.
Mereka seakan ingin ikut belajar bersamaku di sini. Angin pantai yang kencang
sering menghapus peluhku yang keluar saat kesulitan mengerjakan soal di kelas.
Pantai
adalah sahabat karib kami di Wakatobi. Ikan –ikan adalah keluarga kami. Kami sangat
mencintainya layaknya seorang kakak mencintai adiknya. Kadang, setelah selesai
sekolah, aku tak langsung pulang. Aku sambangi dahulu keluarga besarku yang
kurindukan. Kulepaskan segala canda dan tawa bersama mereka, kuceritakan segala
kisahku di sekolah pada ikan dan terumbu karang yang dapat dengan jelas kulihat
di bawah laut .
Pantai
adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Ia tak pernah protes dan mengeluh saat
aku menceritakan semua kisahku. Meski setiap hari aku menceritakan hal yang
sama, tentang kepala sekolahku yang botak samping atau tentang guru
matematikaku yang tak bisa mengucap huruf “r” sehingga rumus luas lingkaran
berubah menjadi πl2 yang membuat seluruh kelas harus mengulang
karena semua salah, ia tetap tak bosan. Ia tetap mendengarkan dengan setia.
Jika aku sedih, pantai menghiburku dengan deburan ombaknya yang indah dan
semilir anginnya yang menentramkan hati dan pikiranku. Jika aku bahagia, percikan
air laut yang mengenai wajahku bertanda ia juga sedang bahagia melihatku.
Sungguh sangat menyenangkan bersahabat dengan alam.
Kami
belajar darimana saja. Bukan hanya di sekolah, tidak hanya dari buku pelajaran yang
susah kami dapatkan, kami lebih banyak belajar dari alam. Kehidupan pantai
mengajari kami berbagai ilmu arah angin, perbintangan, teknik mendayung, cara
menangkap ikan yang benar dll. Sejak kecil kami sudah mempelajari dan paham
betul akan hal itu. Saat paling bahagia dalam hidupku adalah saat ada perpustakaan
keliling datang ke sekolahku. Jika di daerah lain perpustakaan keliling
menggunakan mobil, di sini perpustakaan keliling menggunakan perahu. Setiap perpustakaan
keliling akan datang, kami selalu berjejer rapi di halaman sekolah, menunggu
dengan perasaan bahagia sekaligus penasaran kira-kira buku baru apa yang keluar
minggu ini. Terik matahari pantai yang membakar kulit hitam kami tidak kami
hiraukan. Saat kapal mulai berlabuh di
depan sekolah, kami segera berhamburan menyerbunya dan berebut mencari buku apa
yang baru hari ini. Sering juga kami kecewa karena tidak ada buku baru yang
datang, namun kami tetap memilih minimal 2 buku untuk kami bawa pulang.
Kata
guruku, laut Wakatobi adalah yang terindah di dunia. Kami harus bangga dengan
ini dan menjaganya agar tidak rusak sampai kapanpun. Kami harus bisa menjaga
harta kami agar anak cucu kami dapat merasakan hal yang sama dengan kami.
Setiap datang ke sekolah, di hatiku selalu tertanam tekad kalau aku ingin
belajar agar kelak dapat membangun Wakatobi, tanah kelahiran yang kucintai.
Selesai...
Rista Fitria Anggraini
1 komentar:
daftar sabung ayam
Kata guruku, laut Wakatobi adalah yang terindah di dunia. Kami harus bangga dengan ini
Posting Komentar