Pages

Sabtu, 26 September 2015

Sistem Tuhan, Mengabdi tak Sepenuhnya Memberi!

Ditulis tanggal 27 September 2015 

3 serangkai ^__^

Hari ini (Sabtu, 26/9) adalah untuk yang kesekian kalinya aku mengikuti program Brawijaya Mengajar, sebuah program pengabdian masyarakat untuk mengajar di sekolah dasar di daerah yang masih tertinggal. Jika kau tahu gerakan Indonesia mengajar, maka gerakan ini hampir sama dengannya, hanya skalanya lebih kecil. Ada 3 SD yang menjadi binaan Brawijaya Mengajar, SDN Srimulyo 2 di Kecamatan Dampit, dan SDN 3 Ngabab serta MI Miftahul Ulum di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.

Seperti biasa, hari Sabtu adalah waktu kami beraksi. Di saat teman-teman kami yang lain masih bergulat manja dengan selimut dan gulingnya, kami para pengajar sudah siap menuju ke tempat pengabdian. Sabtu ini, aku kebagian mengajar ke MI Miftahul Ulum. Pukul 05.30 sepeda motor kami sudah mulai berjalan meninggalkan kampus tercinta tempat kami biasa berkumpul. Bukan kali pertama aku mengunjungi MI Miftahul Ulum. Ini adalah yang ketiga kalinga. Meski demikian, di setiap kedatanganku, selalu ada cerita menarik yang selalu berbeda setiap minggu, termasuk yang akan kuceritakan sebentar lagi. Cerita dan pengalaman yang membuatku tak bosan untuk datang ke sini lagi.


Pengalamanku hari ini mungkin adalah pengalaman yang paling menarik diantara pengalaman-pengalaman sebelumnya. Pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hari ini, untuk yang ke-3 kalinya aku mengajar kelas 4 di Miftahul Ulum. Adik adik disana tentu sudah tidak asing lagi denganku. Ditemani oleh Helena, aku masuk di kelas yang terdiri dari 10 siswa ini. 

Kami pun masuk ke dalam kelas dengan semangat. Namun hari ini, saat aku dan Helena masuk, adik adiknya ternyata kurang antusias dan menolak untuk belajar. Sekedar untuk diketahui, mengajar anak SD tak semudah yang dibayangkan. Melihat anak SD duduk rapi dan mendengarkan yang diinstruksikan pengajar mungkin hanya ada di dalam angan kita saja, dalam kenyataannya sangat sulit diwujudkan.

Meski terlihat kurang antusias, namun kupaksa mereka tetap melanjutkan pelajaran. Proses belajar sudah kususun sebaik mungkin malam hari sebelumnya agar adiknya tidak bosan. Hari ini model belajarnya adalah mereka akan berlatih menjawab soal soal dengan bermain games. Namun tetap saja, meskipun pelajaran sudah dimulai, adik adik tetap kurang antusias dan bermain sendiri. Tiba-tiba salah satu adik bernama Umam berceletuk . “Kak, ayo kita olahraga. Hari ini waktunya olahraga.”

Awalnya aku tak menghiraukan ajakan Umam. Namun, ternyata ucapan Umam tersebut membuat teman temannya juga merengek minta olahraga. Suasana semakin tak kondusif. Games yang kudesain sebaik mungkin tak mampu menarik perhatian mereka. Akhirnya, aku menyerah dan menimpali “Mau olahraga apa?”

“Naik gunung!!” Kata mereka serempak dan antusias. 

“Senam aja ya??” kataku mencoba berkompromi.

“Naik gunung!!” mereka tak tertarik dengan tawaranku.

Karena kemauan mereka sudah bulat, tak ada pilihan lain selain mengiyakan ajakan mereka. “Oke, kita nanti olahraga saat istirahat. Tapi, sekarang kita belajar dulu. Okeee!!” Setelah itu, mereka tampak senang dan mulai mau mengikuti pelajaran.

Saat bel istirahat berbunyi, mereka sudah bersiap siap dan dengan semangat mengajakku dan Helena untuk segera berangkat. “Jangan jauh jauh ya naik gunungnya.” Kataku berpesan. Mendengar itu, mereka malah tertawa.

“Kakak gak mau kalau jauh jauh.” Kataku mengancam.

“Enggak kok kaak.” Kata mereka

“Jangan ditinggal ya nanti kakak pas jalan, kan kakak nggak tahu jalannya.”

“Enggak kok kaak.”

Setelah itu, aku dan Helena pun mengikuti mereka naik gunung. Ada 6 anak yang ikut kami mendaki gunung. Umam, Reza, Dimas, Rio, Angga, Ivan. Gunung yang kami tuju tidak jauh dari belakang sekolah, karena memang menurutku MI Miftahul Ulum berada di desa paling ujung. Setelahnya sudah pegunungan dan perkebunan warga. Satu per satu jalan kami daki. Adik adik terlihat senang. Di kiri kanan jalan yang kami daki, banyak lahan perkebunan warga yang masih kosong. Kata Rio hasil perkebunan yang paling banyak disini adalah cabai, tomat, dan lobak.

Desa Ngebrok (tempat MI Miftahul Ulum) dari ketinggian

Ternyata, janji mereka untuk tidak meninggalkanku dan Helena saat jalan hanya janji palsu (hahah). Entah sudah berapa meter mereka jauh meninggalkan kami yang susah payah mendaki sambil sesekali mengambil gambar. Hanya Rio, Reza, dan Angga yang tetap mau menemani kami mendaki. 

“Ayo kak, semangat!! Di atas lebih bagus pemandangannya.” Kata mereka.

“Iya bentarrr...bentarrr....” kataku sambil mengatur nafasku. 

Agar lelahnya tidak terasa, aku memutuskan mengajak mereka bernyanyi. Lagu naik-naik ke puncak gunung adalah lagu yang pas untuk situasi saat ini. Saat aku mulai bernyanyi, adik adik ternyata langsung mengikutinya. Mudah sekali menyuruh mereka bernyanyi di gunung, tak seperti di kelas yang susahnya minta ampun. Masih sekitar 1/3 lagi sampai puncak, aku sudah menyerah.

“Sudah sampai sini saja yaa... ayo kembali ke sekolah .” Kataku

“Naik lagi kak, sedikit lagi sampai.”

“Sudah, ga usah sampai ke puncak. Nanti kalian capek (padahal aku yang capek, haha).”

“Enggak kok kak, sudah biasa.” Hmmmmm..

“Ayolah kak, disana pemandangannya lebih bagus. Ada pohon besar, namanya pohon merak.” Kata mereka

“Sudah tidak usah sampai di sini saja.” 

Tiba-tiba, sambil sedikit jengkel denganku yang tak mau mendaki lebih tinggi lagi, Dimas, kemudian berceletuk.

“Ayo lah kak, naik lagi. Aku ingin buat senang kakak. Ada buah jeruk bali yang besar disana. Aku ingin berikan pada kakak.” 

Ahhhh....so sweeettt

Aku tak bisa menjawab kalimat polos Dimas itu kecuali hanya tertawa. Ahh anak ini... emang jago bikin orang kesengsem. Hahahah....

“Oke oke, ayo naik!” kataku kembali bersemangat.

Akhirnya, setelah sampai ke puncak mereka menyuruhku dan Helena untuk beristirahat, sedang mereka melanjutkan perjalanan untuk mencari jeruk bali. 

“Sudah di sini saja kak, istirahat. Kita yang cari jeruk bali untuk kakak.”

Sepintas aku berfikir, ini yang jadi muridnya aku apa mereka? Hahaha. Karena memang lelah kami pun menurut dan beristirahat di bawah pohon ditemani oleh Reza. Lebih dari setengah jam menunggu, akhirnya mereka kembali dari balik bukit sambil membawa jeruk bali yang memang besar besar sekali.

“Kakakkk....ini jeruknyaa!” Kata mereka berteriak teriak sambil berlari.

Aku kaget melihat ada jeruk bali sebesar itu, dan mereka tidak hanya membawa satu. Ada buannyak sekali. Masing masing anak membawa minimal dua jeruk.

“Ini kalian dapat darimana? Sudah ijin belum tadi ngambilnya?”

“Sudah kak, itu bapaknya di sana. Katanya suruh mengahabiskan.”

“Pintaarrr. Yaudah sekarang kita foto dulu yuk sama buah jeruknya.” Kataku yang dari tadi tidak sempat foto bareng bersama sama mereka.

“Okee!!” Kamipun segera mengambil gambar.

Horee dapet jeruk bueessarrr


“Yaudah, ayo sekarang kembali ke sekolah.”

Setelah itu, kami pun segera turun gunung untuk kembali ke sekolah. Waktu sudah hampir pukul 11 siang, sehingga otomatis kami tak bisa mengajar lagi saat sudah di sekolah. 

“Yaudah, sambil berjalan kita hafalan perkalian yaa..”

“ Satu kali dua?”

“DUA!” 

“ dua kali dua?”

“EMPAT”

“tiga kali dua?”

“EMPAT!”

“Loh tiga kali dua kok empat. Tiga kali dua??”

“ENAM!”

“Empat kali dua??”

“.......” 

“Empat kali dua??”

“.......” 

Tidak ada jawaban. Mereka sudah jauh turun ke bawah dan sudah tak mendengar pertanyaanku lagi. Selesailah hafalan perkaliannya di tiga kali dua.
Begitulah akhir dari kisah pendakianku bersama adik adik kelas IV MI Miftahul Ulum. Ini adalah pengalaman yang sangat berkesan dan pasti sulit untuk dilupakan. Hal hal seperti ini kadang membuatku merasa ada yang salah dalam cara kita berpikir sekarang ini. Saat kita mengabdi, kita hanya berfikir apa yang bisa kita berikan kepada mereka, sejauh apakah pencapaian kita, dan seberapa besarkah program pengabdian kita diterima oleh mereka. Namun, ada satu hal yang sering kita luput untuk sadari, yaitu saat kita mengabdi sebenarnya kita tidak hanya memberi. Namun, kita juga banyak mendapatkan sesuatu dari mereka. Sesuatu yang kadangkala malah lebih besar dari apa yang kita berikan.

Hal – hal yang akan kita berikan, yang sudah kita rancang sedemikian rupa, yang sudah kita programkan dengan sebaik baiknya kadang malah kalah dengan kepolosan dan spontanitas mereka. Kupikir, sampai sekarang ini tak ada pelajaran yang kuberikan yang benar benar bisa membantu akademik mereka. Akan tetapi, hal kecil saja yang mereka berikan dapat membuat kita terkesan.
Mengapa seperti ini bisa terjadi? Apakah ada yang salah? Apakah kita harus memperbaiki program kerja kita? Jawabannya adalah TIDAK! Tak ada yang salah dengan semua ini. Semuanya sudah sangat benar. Menurutku semua terjadi karena memang alaminya seperti itu. Semuanya adalah sistem Tuhan. Pernahkah kau mendengar kalimat “Memberilah, maka kau akan dapatkan balasan lebih dari yang kau beri.” Itulah yang saat ini terjadi. So, jangan banyak berpikir dan mulailah banyak memberi. :) 

Brawijaya Mengajar!

Semangat Mengabdi!!

Selesai..

Rista Fitria Anggraini

0 komentar:

Posting Komentar