Pages

Minggu, 01 Mei 2016

Batik, Identitas Kultural yang Mencari Eksistensi



Kebudayaan Jawa telah menjadi perjalanan panjang kehidupan di nusantara yang bahkan memiliki jejak langkah lebih panjang daripada jejak langkah negara Indonesia sendiri. Budaya Jawa berkembang sesuai watak dan ciri khas masyarakat jawa dan melahirkan sebuah ideologi kultural. Salah satu peninggalan budaya yang dimiliki masyarakat Jawa adalah batik.
Batik sudah dikenal di nusantara sejak jaman Majapahit, dimana Kabupaten Mojokerto saat itu menjadi salah satu sentra pengembangan batik. Dalam perjalanannya, tak bisa dipungkiri bahwa batik merupakan produk budaya yang tunduk pada hukum perubahan. Batik telah mengalami berbagai macam fase perubahan sejak pertama kali diciptakan, dari yang awalnya merupakan produk sakral yang hanya bisa dipakai kalangan kerajaan sampai dengan saat ini dimana batik dapat dipakai dengan mudah oleh siapa saja yang menyukainya. Motif dan warna pada setiap jenis batik yang pada awalnya dibuat dengan pendalaman makna simbolik sekarang berubah hanya dengan berorientasi pasar. 

Perubahan fase yang dialami batik adalah hal yang mau tak mau harus dilakukan dalam upayanya mencari eksistensi dan pengakuan agar tetap lestari. Kehidupan manusia yang semakin modern dan arus globalisasi yang deras menerjang menjadikan batik harus berjuang mempertahankan diri agar tidak hanyut dan hilang. Sebagaimana dalam novel Canting karya Arswendo disebutkan bahwa batik harus berevolusi dan menyesuaikan zaman jika mau tetap dikenal oleh generasi baru. Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi, karena canting sekarang ini bukan cap dulu yang dianggap budi luhung. Canting harus melebur dirinya; cara bertahan dan bisa melejit, bukan dengan menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri.” Begitu kutipan salah satu novelnya.
Selain sebagai identitas kultural Jawa, batik secara tidak langsung juga menjadi jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itulah pada tahun 2009 pemerintah gencar mengusahakan pengakuan batik sebagai budaya asli Indonesia pada UNESCO serta menetapkan hari batik nasional setiap tanggal 2 Oktober. Tak hanya itu saja, setelah pengakuan tersebut pemerintah baik pusat maupun daerah segera menginstruksikan semua lembaga pemerintahan untuk memakai batik pada hari tertentu (biasanya Jumat-Sabtu) setiap minggunya.
Arus globalisasi yang semakin kuat membuat jarak antar negara terasa hilang. Hal itu tidak hanya berpengaruh dari segi ekonomi tetapi juga dalam hal budaya. Bukan hal yang tak mungkin pada suatu masa sebuah generasi tak mengetahui budaya ini pemiliknya siapa dan asalnya darimana karena sudah dipakai oleh semua negara. Oleh karena itulah, meskipun masih simpang siur tentang asal usul batik yang sebenarnya, pemerintah tak menunggu waktu lama untuk mendaftarkan batik ke UNESCO agar tidak diklaim oleh negara lain. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa batik berasal dari India kemudian menyebar ke Mesir, Cina, Jepang dan Asia Tenggara. Meskipun demikian, Indonesia memiliki kesempatan yang lebih kuat untuk mengakui batik berdasarkan pendekatan bias minority, yaitu bukan masalah dari mana berasal tetapi tentang bagaimana kemampuan mengolahnya (local genius). Pada kenyataannya batik tidak berkembang di India, melainkan di Indonesia.
Meskipun telah mengalami banyak perubahan, kebudayaan batik asli tetap harus dijunjung dan dipelajari. Generasi muda sebaiknya tetap mengetahui dan mempelajari batik yang sesungguhnya, yang dibuat tradisional menggunakan canting dan malam, karena sarat akan nilai moral dan budaya. Menurut Iswahyudi, M.Hum, dosen seni rupa UNY, sarana pencapaian dan pelestaraian batik hanya dapat dititipkan pada lembaga-lembaga birokrasi yang legal, formal, dan rasional sebagaimana pada institusi pendidikan. Oleh karena itu, pengenalan batik pada siswa sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi menjadi kunci pokok yang menentukan eksistensi batik sebagai identitas kultural di masa yang akan datang.

Selesai.
Rista Fitria Anggraini J

0 komentar:

Posting Komentar