Tulisan ini,
seluruh paragraf dalam tulisan ini saya tunjukkan untuk seorang pahlawan
olahraga yang telah seringkali mengangkat nama bangsa ini pada puncak tertinggi
sebuah prestasi. Seorang yang dicintai masyarakat Indonesia, Tunggal Putra
Indonesia Taufik Hidayat.
Banyak orang
yang bilang kalau cinta pertama itu adalah yang terindah dari cinta-cinta
setelahnya. Sesuatu yang pertama memang selalu terasa istimewa. Anak pertama,
peringkat pertama, juara pertama, masuk pertama, gaji pertama, dan
pertama-pertama yang lain. “Secantik apapun bunga-bunga yang lain, bunga
pertama selalu menjadi yang tercantik.” Begitu kata pak Kapolres Trenggalek
saat mengisi acara istighozah di sekolah saya sebulan yang lalu. Dan itu memang
benar. Cinta pertama saya, seseorang yang pertama kali menjadi idola saya tak
lain dan tak bukan adalah pemain bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat.
Saya pertama
kali melihat Taufik Hidayat bermain saat Indonesia Open 2006, saat saya masih
kelas 6 SD. Saat itu Taufik berhasil menjuarai Indonesia Open untuk yang ke 6
kalinya setelah berhasil mengalahkan Bau Chun Lai asal China dengan rubber
game. Penampilan Taufik memberikan kesan tersendiri bagi saya, saya sangat
mengagumi permainannya yang mengandalkan teknik dan penempatan shuttle cock
yang bagus, saya mengagumi perjuangannya dan semangatnya melakoni partai yang
berat melawan tunggal China yang terkenal tangguh. Sejak saat itu, dalam hati
saya tertulis nama Taufik Hidayat sebagai tokoh yang saya idolakan.
Semakin hari
kekaguman saya pada Tunggal Putra terbaik Indonesia ini semakin besar. Saat
Asian Games 2006 Doha Qatar, saya tak henti-hentinya berdo’a untuk kemenangan
Taufik Hidayat. Saat itu, di TV saya tidak ada stasiun yang menyiarkan AG jadi
update tentang Taufik hanya bisa saya dapatkan dari berita olahraga. Saya tidak akan berangkat sekolah sebelum mengetahui kabar tentang Taufik Hidayat. Saya
sempat kecewa ketika Taufik 2 kali gagal mengalahkan Lin Dan saat pertandingan
beregu, namun harapan untuk dapat meraih medali emas saat partai perseorangan
tak pernah hilang. Setiap hari, pagi siang malam saya berdo’a agar Taufik
Hidayat diberikan kemenangan dalam setiap pertandingan yang dilakoninya, karena
sekali saja gagal harapan itu putus sudah. Saking semangatnya berdo’a saya
sampai beberapa kali menangis. Semuanya untuk Taufik Hidayat, idola pertama
saya.
Saat mengetahui
kemenangan Taufik Hidayat di partai Final atas Lin Dan hati saya bersorak
gembira. Saya sangat bahagia sekali waktu itu. Saya berjingkrak-jingkrak di
depan TV. Hati saya bergemuruh dan saya sangat bersyukur kepada Allah SWT do’a
saya dan mungkin seluruh rakyat Indonesia akhirnya dikabulkan. Taufik menang
dengan straight game 21-19 22-20. Sebuah angka yang tak akan pernah saya
lupakan sampai kapanpun.
Masih terlihat
jelas di ingatan saya bagaimana ekspresi Taufik saat berhasil meraih medali
emas saat itu. Ia membalikkan badannya ke
arah penonton sambil mengepal erat tangannya setelah berhasil mematikan
pengembalian yang tanggung dari Lin Dan di depan net. Lalu kepalan tangan itu
ia tunjukkan ke kamera dengan wajah yang sangat puas. Sebuah kepalan tangan
keberhasilan dan prestasi yang ia persembahkan untuk bangsa Indonesia tercinta.
Waktu terus berjalan
tanpa mampu kita menghentikannya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi
tahun Taufik selalu memberikan kemampuan terbaiknya untuk Merah Putih. Sampai
akhirnya saat yang paling tidak kita harapkan ini tiba. Taufik Hidayat
memutuskan untuk berhenti setelah kurang lebih 17 tahun berjuang membela nama
Negara. Sebuah keputusan yang mau tak mau harus kita terima dan kita hargai.
Usia yang sudah beranjak 32 tahun bukanlah usia yang muda untuk terus bermain
bulutangkis. Saatnya generasi muda meneruskan perjuangan Tunggal Putra tumpuan
Merah Putih ini.
Harus kita akui
bersama, Taufik telah mencatat rekor yang sangat luar biasa dalam karirnya
sebagai seorang atlet bulutangkis professional. Emas Olimpiade Athena 2004,
Juara Dunia 2005, Emas Asian Games 2002 dan 2006, serta masih banyak lagi
prestasi fenomenal yang telah ditorehkannya untuk Merah Putih. Saya melihat
rekaman partai Final Taufik di Olimpiade Athena 2004 silam dan menangis haru
saat ia berhasil meraih medali emas olimpiade di usianya yang masih 24 tahun.
Sungguh, ia telah berjuang yang terbaik dan mencatatkan rekor terbaik untuk
bangsa ini. Jangan pernah menyangsikannya.
Jika akhir-akhir
ini prestasinya menurun, itu karena tenaganya tidak sekuat dulu dan
generasi-generasi muda yang masih segar dan kuat bermunculan dengan semangat
dan motivasi yang lebih besar. Memang sudah saatnya kita mencari generasi muda
yang dapat menggantikan Taufik Hidayat.
Di akhir tulisan
ini, dengan sepenuh hati saya mengucapkan Terima Kasih yang sebesar-besarnya
untuk Taufik Hidayat. Terima kasih telah mengenalkan saya pada olahraga, dimana
kita dapat menyaksikan perjuangan para pahlawan olahraga untuk bangsanya dengan langsung dan jelas. Terima
kasih telah membuat saya mencintai olahraga Nasional, mencintai bulutangkis
Nasional, setia mendukungnya dengan berbagai macam kekurangan-kekurangannya
yang kompleks. Kalau jujur, rasanya saya sangat kurang sekali melihat Taufik bermain,
saya ingin melihat permainannya lebih banyak lagi, banyak sekali partainya yang
saya lewatkan. Tapi, sepertinya hal itu sudah tidak bisa lagi saya dapatkan.
Yang bisa saya lakukan saat ini adalah mencari rekaman pertandingannya dulu.
Terima
Kasih Taufik Hidayat………..
Atas
prestasi dan kebanggan yang kau berikan pada Negeri ini…..
Bagiku….
Kau
Idola pertama, yang tak kan pernah terlupa………..
Selesai....
Rista Fitria Anggraini
0 komentar:
Posting Komentar