Kebudayaan Jawa telah menjadi perjalanan
panjang kehidupan di nusantara yang bahkan memiliki jejak langkah lebih panjang
daripada jejak langkah negara Indonesia sendiri. Budaya Jawa berkembang sesuai
watak dan ciri khas masyarakat jawa dan melahirkan sebuah ideologi kultural.
Salah satu peninggalan budaya yang dimiliki masyarakat Jawa adalah batik.
Batik sudah dikenal di nusantara sejak jaman
Majapahit, dimana Kabupaten Mojokerto saat itu menjadi salah satu sentra
pengembangan batik. Dalam perjalanannya, tak bisa dipungkiri bahwa batik
merupakan produk budaya yang tunduk pada hukum perubahan. Batik telah mengalami
berbagai macam fase perubahan sejak pertama kali diciptakan, dari yang awalnya
merupakan produk sakral yang hanya bisa dipakai kalangan kerajaan sampai dengan
saat ini dimana batik dapat dipakai dengan mudah oleh siapa saja yang
menyukainya. Motif dan warna pada setiap jenis batik yang pada awalnya dibuat
dengan pendalaman makna simbolik sekarang berubah hanya dengan berorientasi
pasar.
Perubahan fase yang dialami batik adalah hal
yang mau tak mau harus dilakukan dalam upayanya mencari eksistensi dan
pengakuan agar tetap lestari. Kehidupan manusia yang semakin modern dan arus
globalisasi yang deras menerjang menjadikan batik harus berjuang mempertahankan
diri agar tidak hanyut dan hilang. Sebagaimana dalam novel Canting karya
Arswendo disebutkan bahwa batik harus berevolusi dan menyesuaikan zaman jika
mau tetap dikenal oleh generasi baru. “Canting tak perlu mengangkat bendera tinggi-tinggi, karena canting
sekarang ini bukan cap dulu yang dianggap budi luhung.
Canting harus melebur dirinya; cara bertahan dan bisa melejit, bukan dengan
menjerit, bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi.
Tapi dengan jalan melebur diri.”
Begitu kutipan salah satu novelnya.
Selain sebagai identitas kultural Jawa, batik
secara tidak langsung juga menjadi jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena
itulah pada tahun 2009 pemerintah gencar mengusahakan pengakuan batik sebagai
budaya asli Indonesia pada UNESCO serta menetapkan hari batik nasional setiap
tanggal 2 Oktober. Tak hanya itu saja, setelah pengakuan tersebut pemerintah
baik pusat maupun daerah segera menginstruksikan semua lembaga pemerintahan untuk
memakai batik pada hari tertentu (biasanya Jumat-Sabtu) setiap minggunya.
Arus globalisasi yang semakin kuat membuat jarak
antar negara terasa hilang. Hal itu tidak hanya berpengaruh dari segi ekonomi
tetapi juga dalam hal budaya. Bukan hal yang tak mungkin pada suatu masa sebuah
generasi tak mengetahui budaya ini pemiliknya siapa dan asalnya darimana karena
sudah dipakai oleh semua negara. Oleh karena itulah, meskipun masih simpang
siur tentang asal usul batik yang sebenarnya, pemerintah tak menunggu waktu
lama untuk mendaftarkan batik ke UNESCO agar tidak diklaim oleh negara lain.
Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa batik berasal dari India kemudian
menyebar ke Mesir, Cina, Jepang dan Asia Tenggara. Meskipun demikian, Indonesia
memiliki kesempatan yang lebih kuat untuk mengakui batik berdasarkan pendekatan
bias minority, yaitu bukan masalah
dari mana berasal tetapi tentang bagaimana kemampuan mengolahnya (local genius). Pada kenyataannya batik
tidak berkembang di India, melainkan di Indonesia.
Meskipun telah mengalami banyak perubahan,
kebudayaan batik asli tetap harus dijunjung dan dipelajari. Generasi muda
sebaiknya tetap mengetahui dan mempelajari batik yang sesungguhnya, yang dibuat
tradisional menggunakan canting dan malam, karena sarat akan nilai moral dan
budaya. Menurut Iswahyudi, M.Hum, dosen seni rupa UNY, sarana pencapaian dan
pelestaraian batik hanya dapat dititipkan pada lembaga-lembaga birokrasi yang
legal, formal, dan rasional sebagaimana pada institusi pendidikan. Oleh karena itu, pengenalan batik pada siswa
sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi menjadi kunci pokok yang menentukan
eksistensi batik sebagai identitas kultural di masa yang akan datang.
Selesai.
Rista
Fitria Anggraini J
0 komentar:
Posting Komentar